Ad Code

Raja Monolog dan Orkestra Sinten Remen, Siapa Suka?


AKHIRNYA malam kemarin saya bisa menikmati langsung penampilan Raja Monolog Indonesia, Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto di Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang. Gara-gara acara ini pula, acara mudik akhir pekan ke Jombang terpaksa tertunda hingga minggu pagi tadi. Memang terhitung cukup lama saya tak menonton langsung Butet Kartaredjasa, kecuali melihat penampilannya di televisi. Di tahun-tahun awal pasca reformasi atau tahun 2000, saya begitu menggandrungi monolog Butet ini. “Mayat Terhormat", itu salah satu monolog yang pernah ditampilkan dan masih membekas di memori saya. 

Acara malam itu dimulai persis pukul 18.30 dengan diawali penampilan stand up comedy oleh 5 komedian muda Malang. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan profil yang punya hajat (Radar Malang) dan baru sekitar pukul 19.45 acara pertunjukan diawali dengan “penampakan” 2 "makhluk aneh" sebagai pemandu acara dengan celetukan-celetukan cerdas dan super lucu yang sesaat kemudian disusul “penampakan” Djaduk Ferianto dan kawan-kawannya.

Selepas celetukan-celetukan dan humor kritis antar dua makhluk aneh dengan Djaduk Ferianto Cs., orchestra Sinten Remen pun langsung menggebrak dengan tembang pertama “Kopi Susu”, disusul dengan “Nasi Goreng” ala holand yang begitu akrab di telinga saya, kemudian juga Reformasi Haru, Parodi Anak Indonesia, Kere Trendi, Komedi Putar dan sebagainya yang di antara lagu–lagu yang dinyanyikan diselingi dengan dialog antara 2 makhluk “aneh” dengan Djaduk Ferianto dan terutama dengan dua “sinden”nya yang malam itu juga tampil setia menemaninya. Selain itu, Sinten Remen juga memperkenalkan lagu barunya yang liriknya merupakan puisi Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) dengan judul “Mulut”. Lagu yang menurut saya sangat kontemplatif.

Di saat Sinten Remen selesai menyanyikan lagu “Kere Trendi”, Raja Monolog Indonesia, Butet Kartaredjasa, yang tak lain adalah kakak Djaduk Ferianto, pun tiba-tiba muncul dipertengahan acara. Ia langsung tampil dengan monolog yang kritis, menggelitik, segar dan tentu saja dengan humor-humor bernasnya.

Di awal monolognya, ia langsung mengomentari lagu "Kere Trendi" yang baru saja dibawakan Sinten Remen. Ia mengatakan bahwa di Malang tidak ada “Kere”, yang ada adalah “Erek”, yang merupakan bahasa walikan (terbalik) khas malangan. Menurutnya, bahasa walikan ini menunjukkan identitas yang unik. Yang membedakan masyarakat Malang dan Jakarta serta daerah-daerah lain dalam memandang sesuatu dan dalam menghadapi berbagai persoalan. 

Butet juga mengeluarkan joke-joke kritis dan penuh sindiran ke sistem pemerintahan dan politik Indonesia. Misalnya ia mengungkapkan bahwa jadi pemimpin jangan prihatin saja, tapi harus mampu "erek", harus bisa erek(si) agar mampu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakatnya, bukan curhat keprihatinan terus. Demikian juga ia menyindir para politikus kita yang sibuk dengan silahturahmi kelamin dan aktivitasnya SAPI ing pamrih rame ing gawe.

Selanjutanya ia memparodikan cara pandang enam Presiden Indonesia dalam melihat persoalan. Dia mengisahkan, pada suatu ketika 6 Presiden Indonesia berkumpul dan menghadapi hidangan 1 paha ayam goreng. Cara pandang dan tingkah polah presiden pun diparodikan Butet ketika menghadapi 1 paha ayam goreng itu. Dia cukup sukses memparodikan 3 presiden pertama, Bung Karno, Pak Harto, dan Habibie.

Hanya saja dia tak “berani” memparodikan Gus Dur seperti ketika memparodikan 5 presiden lainnya. Entah kenapa, mungkin masih “trauma” ketika dulu pernah memparodikan dan parodi itu dianggap penghinaan terhadap Gus Dur oleh sebagian pendukung Gus Dur. Djaduk pun mancing-mancing dengan pertanyaan “Kalau Presiden Gus Dur gimana?”. Butet pun menjawab dengan ngeles cerdasnya “Ketika itu Gus Dur tidur kok”. Demikian berulang-ulang Djaduk memancing dan Butet memberi jawaban yang sama. Butet pun terus melanjutkan memparodikan Megawati dan kemudian SBY. Di akhir parodi para presiden, ia meniru gaya Gus Dur yang terbangun dan langsung memakan daging paha ayam sambil mengatakan “Wong cuma ayam goreng kok dikomentari, dimakan langsung saja, gitu aja kok repot”. Dan masih banyak lagi tema dan sindiran-sindiran dalam monolog Butet kali ini. Yang jelas, penonton pun dibuat tergelak riuh. Entah menertawakan penampilan Buthet dengan joke-jokenya atau menertawai diri-sendiri.

Begitulah penampilan dua bersaudara ini benar-benar menghibur dan menghipnotis, hingga tak terasa 3,5 jam saya menikmatinya tanpa beranjak dari kursi. Meskipun penampilan Butet kali ini sepertinya tak optimal, seperti yang saya lihat sebelum-sebelumnya, tetapi sekali lagi tetap menghibur dan menghipnotis. Perpaduan monolog yang jenaka sekaligus menggelitik dengan orchestra Sinten Remen yang mampu mengakomodasi dan mensinkretiskan berbagai jenis aliran musik (etnik) dengan domain irama keroncong. Sinten Remen? Siapa Suka?

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code