Ad Code

Membudayakan Makan Telur


MENURUT data Direktorat Jenderal Peternakan, tingkat konsumsi terhadap komoditas telur bangsa Indonesia masih sangat rendah. Tingkat konsumsi telur di Indonesia baru mencapai 6,78 kg per kapita per tahun. Tak hanya tingkat konsumsi telur yang rendah, tetapi juga tingkat konsumsi protein hewani secara keseluruhan (daging, ikan dan susu) juga masih sangat rendah. Jika kondisi seperti ini tidak segera ditangani dengan serius maka bencana yang lebih besar akan segera melanda, yaitu hilangnya generasi penerus masa depan akibat kekurangan protein. 

Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan dua indikator mutu gizi yang umum digunakan untuk mengukur status gizi. Angka kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 50 gram/kapita/hari. Salah satu sumber protein hewani untuk kebutuhan konsumsi adalah telur. Bahan makanan ini mengandung gizi yang baik untuk kehidupan manusia.

Telur merupakan hasil ternak yang mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah gizi masyarakat. Konsumsi telur lebih besar daripada konsumsi hasil ternak lain karena mudah diperoleh dan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi anggota masyarakat yang mempunyai daya beli rendah.

Murah dan Bergizi

Di samping harganya yang relatif murah dibandingkan dengan produk peternakan lainnya dan telah dikenal masyarakat luas, telur juga sarat akan zat gizi yang diperlukan tubuh, rasanya enak, dan mudah dicerna. Telur mengandung vitamin A, D, E, K, B6, B12, B1 (tiamin), B2 (ribovalavin), niasin, asam pantothenat, asam folfat dan biotin. Zat-zat mineral dalam telur mencakup kalsium, kalium, fosfor, natrium, khlor, magnesium, ferrum, mangan, yodium, zinkum, kobalt dan kuprum (Anggorodi, 1987). Selain itu, telur dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan.

Sementara itu protein dalam telur mengandung semua asam amino esensial yang sangat baik bagi tubuh. Dari suatu penelitian diketahui bahwa telur mempunyai pemanfaatan protein netto sebesar 100 persen, dibandingkan dengan daging ayam yang hanya mencapai 80 persen dan susu mencapai 75 persen. Ini berarti bahwa jumlah dan komposisi asam amino telur sangat lengkap dan berimbang, sehingga hampir seluruh bagiannya dapat digunakan untuk pertumbuhan maupun penggantian sel-sel yang rusak. Telur sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui, orang yang sedang sakit atau dalam proses penyembuhan serta baik untuk golongan lanjut usia (Astawan, 2002).

Selain telur dikenal luas masyarakat karena kandungan gizinya, telur juga dikenal karena mempunyai multifungsi, selain sebagai lauk pauk juga sudah dikenal masyarakat sebagai campuran jamu, bahkan untuk sebagian orang telur ayam kampung dipercaya mempunyai kekuatan magic (Khomsan, 2004).

Di samping itu, telur adalah salah satu komoditas pangan hewani yang jumlahnya relatif melimpah di pasaran. Bagi sebagian masyarakat kita, terutama di desa, ayam kampung menjadi penunjang kebutuhan hidup sehari-hari termasuk kebutuhan akan telurnya. Hampir setiap rumahtangga memelihara ayam kampung, baik dengan cara tradisonal maupun modern dengan tujuan komersial. Hal ini berakibat pula pada tingkat partisipasi rumahtangga di desa yang relatif lebih tinggi dalam mengonsumsi telur ayam kampung. Karena telur ayam kampung yang dikonsumsi kebanyakan diusahakan sendiri, maka permintaan telur ayam kampungpun relatif tidak terpengaruh dengan perubahan harga dibandingkan dengan permintaan jenis telur lain semisal telur ayam ras.

Terhambat

Sayangnya konsumsi masyarakat kita terhadap komoditas telur ini masih sangat rendah. Ada beberapa hal yang menjadi hambatan kenapa hal ini terjadi, pertama, mitologi di masyarakat. Banyak mitos yang berkembang di masyarakat mengenai telur. Makan telur dimitoskan dapat membuat bisulan dan alergi ataupun gatal-gatal. Padahal sebenarnya alergi ataupun gatal-gatal setelah mengonsumsi telur lebih disebabkan karena proses memasak yang tidak benar, yaitu memasak telur setengah matang, bahkan ada yang mengonsumsi telur secara mentah. Protein yang terkandung dalam putih telur biasanya langsung diserap oleh pembuluh darah dan kemungkinan putih telur ini bersifat sebagai antigen sehingga memunculkan gejala alergi.

Demikian juga dengan putih telur mentah, mengandung avidin yang menghambat penyerapan biotin, salah satu vitamin yang berperan dalam proses sintesis asam lemak. Oleh karena itu, untuk mengobati alergi telur cukup sederhana saja yaitu dengan memberikan kuning telurnya saja dan memasak telur sampai benar-benar matang bukan setengah matang (Winarno, 1993).

Kedua, kasus flu burung. Tak dapat dipungkiri bahwa wabah flu burung yang melanda kawasan kita beberapa tahun terakhir telah mempengaruhi orang untuk mengonsumsi telur. Padahal, sudah banyak para ahli menerangkan bahwa flu burung tidak menular melalui makanan, namun melalui udara. Apalagi virus flu burung akan mudah dibasmi dengan pemanasan pada suhu di atas 90 derajat selama beberapa menit.

Ketiga, pendapatan. Adanya hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan rata-rata konsumsi telur. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pendapatan maka rumahtangga akan meningkatkan permintaan telur. Dalam kajian saya pada tahun 2005 lalu, bahwa fenomena ini dapat dilihat ketika krisis terjadi dimana tingkat pendapatan riil turun menyebabkan pula tingkat konsumsi telur rata-rata turun (tahun 1999). Kemudian pada tahun 2002 mulai naik lagi tingkat konsumsinya seiring dengan adanya pemulihan ekonomi.

Dengan melihat kondisi masyarakat yang banyak mengalami kekurangan gizi dan masih rendahnya tingkat konsumsi telur, maka tak ada salahnya kita mulai membudayakan makan telur sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasinya. Apalagi kita juga mempunyai potensi sumberdaya alam yang mendukung untuk memproduksi telur unggas. Demikian juga potensi masyarakatnya, terutama yang tinggal di desa, banyak yang telah mengusahakan “peternakan kecil” berbagai jenis unggas penghasil telur. Tinggal edukasinya saja agar masyarakat bisa memanfaatkan “ternak kecil”-nya itu sebagai sumber gizi sekaligus sumber ekonomi.


*Sumber Foto: freepik.com

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Kata Mbah, pada zaman kolonial dulu, telur adalah makanan para ningrat. Sayangnya hari ini saya lebih memilih omelet atau telur ceplok daripada yang direbus. Oh ya, istri saya tempo hari beli alat unik 'perajang' telur buatan Jepang. Dengan begitu semoga ke depannya telur rebus di rumah akan tambah laris manis... :)

    BalasHapus
  2. RSI SAKINAH MOJOKERTO telp/sms : +6285648280307

    BalasHapus
  3. mas coba cek lagi di sumbernya, itu yg bener ribovalavin ato riboflavin?...btw, mitos endhog marai gondangen, gak nok tah mas?.. :)

    BalasHapus
  4. Selamat sore sahabat.
    Terima kasih atas artikelnya yang menarik dan inspiratif.
    Yang sudah sepuh dilarang banyak makan kuning telur, benar ??

    Jangan lupa mengikuti kontes Unggulan Indonesia Bersatu lho ya. Klik saja : http://tamanblogger.com/blogging/konteskuis/kontes-unggulan-indonesia-bersatu-cara-mencegah-dan-menanggulangi-tawuran

    Terima kasih.

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code