Ad Code

Sekadar Berbincang Tentang Jombang

Sumber Foto: flickr.com/Aditya Kristiawan

SELAMA ini orang mengasosiasikan kota Jombang dengan pesantren. Ini wajar karena di Jombang banyak berdiri pondok pesantren dengan berbagai atribut kesantriannya. Makanya Jombang juga mempunyai julukan “Kota Santri” dan slogan “Jombang Beriman”. Dan, setiap tahun ribuan santri dari seluruh pelosok tanah air “menyemut” untuk menimba ilmu di kota ini.

Setidaknya ada empat pondok pesantren besar berdiri di kota ini. Darul ‘Ulum di Rejoso Peterongan, Tebuireng di Diwek, Bahrul ‘Ulum di Tambakberas, dan Mamba’ul Ma’arif di Denanyar. Dua yang yang terakhir ini masuk wilayah kecamatan kota. Belum lagi pesantren-pesantren kecil di tiap-tiap kecamatan. Total pesantren besar dan kecil jumlahnya mencapai ratusan.

Disamping itu, Jombang juga dikenal sebagai “Kota Adipura” karena telah beberapa kali menerima penghargaan Adipura. Bahkan untuk tahun 2007 ini disamping mendapat penghargaan Adipura untuk kesekian kalinya, Tempat Pengolahan Sampah atau TPS di Jombang juga mendapat predikat terbaik dalam pengelolaannya.

Selain itu, Jombang juga dikenal sebagai “Kota Tokoh” karena melahirkan tokoh-tokoh fenomenal. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, salah satu founder ormas islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama. KH. Wahid Hasyim, menteri agama pertama dengan usia yang masih sangat muda. Kemudian ada Gus Dur mantan Presisen RI, Cak Nur tokoh pemikir islam yang flamboyan, Cak Nun Sang Kiai mBeling, Gombloh “Kebyar-Kebyar” penyanyi yang lagunya sangat melegenda, Asmuni pelawak srimulat yang pandai mengocok perut, dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, yang membuat beberapa pemimpin negara barat tak bisa tidur nyenyak. Begitu juga Wardah Hafidz, dengan UPC-nya seringkali melakukan aksi-aksi di jalan hingga membuat gubernur DKI Jakarta tak bisa berleha-leha.

Belum lagi, tokoh lain yang sangat mengindonesia namun tidak terlalu “gila” seperti tokoh-tokoh di atas. Sebut saja, mantan KASAU Rilo Pambudi, Wakil DPR RI, Muhaimin Iskandar, mantan Jaksa Agung Singgih, juga Cak Slamet seniman ludruk yang dulu sering muncul pada acara Ludruk Glamour yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta nasional. Cak Slamet “Tukang Sepatu” ini juga sering tampil bersama Kartolo Cs, salah satu legenda hidup ludruk banyolan di Surabaya yang kelahiran Pasuruan.

Kata orang-orang, Noer Halimah, penyanyi dangdut yang lagunya mendayu-dayu di era 80 sampai 90-an yang sering duet bersama Sang Raja Dangdut, Bang Rhoma Irama, juga lahir di kota ini. Kampungnya satu kecamatan dengan kampung Cak Nurcholis Madjid di Jombang selatan agak ke timur. Beberapa penyanyi muda dari Jombang juga ada yang masuk Akademi Fantasi Indonesia di Indosiar dan Indonesia Idol di RCTI.

Jombang juga mendapatkan julukan sebagai “Ibu Kota Ludruk”. Ditengarai sejarah ludruk berawal dari kota ini. Makanya dalam salah satu bagian ludruk, yaitu jula-juli, yang umum hanya ada dua jenis, yaitu jula-juli suroboyoan dan jula-juli njombangan. Entah dibagian atau ciri apa yang membedakan dua jenis jula-juli ini.

Ludruk awalnya tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Ada beberapa versi tentang sejarah Ludruk ini. Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Diwek adalah kampung kelahiran Asmuni anggota Srimulat, dan Kholik pelawak anggota Depot Jamu Kirun.

Awalnya, ludruk dimulai dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan iringan musik sederhana, Pak Santik berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret-coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata “Wong Lorek”. Akibat variasi dalam bahasa, maka kata “Lorek” berubah menjadi kata “Lerok”.

Sampai saat ini pun, di Jombang sebenarnya masih cukup banyak kelompok-kelompok kesenian ludruk, meskipun kondisinya kembang-kempis. Bahkan, Ludruk Asmuni beberapa waktu lalu punya jadwal khusus tampil di JTV, sebuah televisi lokal Jatim yang berpusat di Surabaya, yang mana khusus pengambilan gambar acara Ludruk Asmuni dilakukan di Gedung Tridharma atau Klentheng Jombang. Sebuah infiltrasi dan akulturasi budaya yang sangat baik untuk saling memperkenalkan dan memahami budaya yang berbeda.

Ditengarai, ludruk merupakan budaya rakyat yang lahir untuk “memberontak” model kesenian keraton dan istana semacam wayang dan ketoprak yang ceritanya terlalu elit dan tak menyentuh rakyat. Cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang lebih egaliter dan terkesan “kasar” tanpa unggah-ungguh bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak.

Dalam masa penjajahan, kesenian ludruk juga menjadi sarana perjuangan untuk melawan kompeni, selain tentunya untuk “melawan lapar” penggiatnya. Cak Durasim, yang menurut salah satu artikel yang ditulis Cak Nun, juga berasal dari Jombang, adalah tokoh ludruk yang sangat melegenda dengan parikannya bekupon omahe dara, melok nipon tambah sengsara (bekupon rumahnya burung dara, ijut nipon tambah sengsara). Akibat dari parikannya ini dia ditangkap oleh Jepang. Dan saat ini namanya dikenang dan diabadikan menjadi nama sebuah gedung kesenian di Surabaya.

Namun demikian, dulu Jombang juga mempunyai sisi lain dalam perkembangan peradabannya, yaitu sangat terkenal dengan tempat-tempat prostitusinya. Sebut saja, kawasan Weru, Tunggorono, Buk Ireng, Kayen, dan sebagainya. Entah sekarang masih ada atau tidak. Tetapi di kawasan utara ke arah Babat, Lamongan, tempat seperti ini masih ada yang “dipertahankan”. Juga akhir-akhir ini beberapa hotel melati menjadi “surga terindah” bagi pasangan selingkuh.

Konon katanya pesantren-pesantren yang ada sekarang dulu berdiri di kawasan-kawasan tempat molimo atau M-5, yaitu main (judi), mabuk, madat, maling, dan madon (berzina). Karena kearifan dalam berdakwah para tokoh-tokoh agama, pesantren bisa berkembang pesat tanpa terjadi kekerasan yang berarti dengan “aktivis M-5”. Pelan tapi pasti, tempat M-5 berangsur-angsur tersinari dengan “cahaya” Illahi yang terpancar dari pesantren.

Orang juga sering mengidentikkan Jombang dengan NU, dan kalau NU pasti pilihan partai politiknya PKB yang dipandegani Gus Dur itu. Terlalu dangkal untuk membuat kesimpulan seperti ini. NU memang dilahirkan mayoritas dari tokoh-tokoh Jombang, yang juga melahirkan PKB, tetapi jangan salah, pemilu tahun 1999, di Jombang partai yang paling banyak mendulang suara adalah PDIP. Inilah keunikan Jombang, sulit didentifikasi dengan hanya melihat satu sisinya. Untuk mengidentifikasi Jombang kita perlu “manunggal” dengan Jombang, tinggal beberapa waktu kemudian melihat semuanya, ya ludruknya, ya pesantrennya, tukang becaknya, kiainya, kulinernya, dan sebagainya.

Tebuireng yang saat ini dipimpin oleh Gus Solah (Salahudin Wahid), dulu katanya (setidaknya kata guru-guru ngaji saya dan beberapa literature) juga merupakan basis M-5 yang “dicipta” penjajah Belanda agar warga pribumi terus terlena dan kalau sudah begitu mudah dijajah. Garong, maling, menumpuk dan berkeliaran di tempat ini. Namun, wilayah kecil di selatan Jombang ini kini telah menjadi kawasan pesantren yang banyak menjadi jujugan pelajar di seantero nusantara dan terkenal melahirkan ulama-ulama yang “lungit” dan “melangit”. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku “Tradisi Pesantren”, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.

Yang terbaru, Jombang juga mendapat julukan “Kota Koperasi”. Ini setelah beberapa waktu yang lalu mendapatkan penghargaan tingkat nasional dalam bidang perkoperasian. Bupati Jombang, sebagai pimpinan tertinggi daerah ini, menerima penghargaan Satya Lencana Pembangunan sebagai penghargaan tertinggi Bidang Pengembangan Perkoperasian dan UKM. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada Bupati bertepatan dengan peringatan Hari ke-60 Koperasi, 12 Juli 2007 di Garuda Wisnu Kencana, Nusa Dua, Bali (Radar Mojokerto, 13 Juli 2007).

Nah, masih banyak sudut lain untuk memandang Jombang. Ada yang menambah?

Posting Komentar

2 Komentar

  1. cak.. ludruk lek gak salah berasal dari besut / besutan. waktu kecil dulu pernah liat bapak saya memainkannya. Sudah lupa seperti apa.. tapi saya masih ada fotonya. cuman ingat kata-kat.. man..man.. man jamino :D

    BalasHapus
  2. Jadi ingat dulu pernah hampir daftar di tebuireng, tapi gak jadi karena gak kuat biayanya.

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code