Ad Code

Di Secangkir Kopi Ada Derita Petani

Sumber: ealuxe.com

"....betapa nikmatnya rasa kopi
lebih nikmat dari seribu ciuman
lebih manis dari anggur yang paling manis...."

ENTAH dari mana saya mendapat kata-kata ini. Kata-kata yang begitu membenarkan “kelakuan” saya yang bisa dibilang pecandu kopi. Betapa tidak, sejak usia sebelum sekolah dasar saya sudah terbiasa menyesap aroma kopi dalam cangkir, sampai-sampai ketika sakit pun baru mau minum obat yang pahit dari dokter dengan pengantar kopi.

Hingga saat ini saya masih terus menyeruput kopi dengan segala sensasi dan konsekuensi yang ditimbulkan. Bukan karena ikut-ikutan gaya hidup atau semacamnya, tetapi secara keluarga adalah peminum kopi dan ditambah lagi lingkungan geografis sebagai penghasil kopi yang mempunyai sejarah cukup panjang.

Sejak sekitar sebelum tahun 1900-an kolonial belanda membangun perkebunan kopi di kampung saya. Bahkan kebun-kebun kopi itu pada tahun 1861 pernah dikunjungi oleh seorang naturalis asal British, Alfred Russel Wallace, yang juga menciptakan sebuah garis imajiner sebagai batas pemisah fauna dan dikenal sebagai Garis Wallacea. Hal ini seperti yang tertuang dalam Java a Traveler’s Anthology dan disebutkan dalam The Malay Archipelago, merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke-19.

Menyeruput secangkir kopi bagi saya tak sekadar menikmati rasa pahit kafeinnya untuk mengusir rasa kantuk dan sakit kepala. Di secangkair kopi, ada pertarungan emosi dan gengsi yang teraduk-aduk, ada beribu tanya dan keheranan yang berkecamuk. Ada begitu banyak hal yang bisa muncrat dari benak saya. Tak sekadar sensasi dan nikmatnya yang katanya dibilang bahwa rasa kopi lebih nikmat dari seribu ciuman, dan lebih manis dari anggur yang paling manis itu. Tak sekadar sejarah penemuannya sekitar abad kelima yang dimulai dengan seekor domba bertingkah-polah aneh setelah memakan buah yang awalnya belum diketahui. Sang penggembala dombapun mencoba mencicipinya dan setelah itu memperoleh perasaan atau sensasi yang berbeda. Atau tentang sejarah perjalanannya menuju penjuru dunia yang dipenuhi dengan intrik dan kepentingan tertentu hingga menimbulkan imperialisme dan kolonialisme oleh negara-negara tertentu.

Lebih dari itu, ternyata dibalik nikmatnya secangkir kopi juga menyimpan pahitnya hidup petani kopi. Pernahkah kita peduli atau setidaknya mengingat para petani kopi ketika menyeruput secangkir kopi? Pernahkan membayangkan bagaimana kopi itu diproduksi dan diproses hingga hadir di hadapan kita? Pernahkah kita berempati ketika harga-harga kopi petani jatuh hingga terkadang biaya produksi, bahkan sekadar biaya petik lebih mahal dari harga produknya?

Nasib petani kopi kita terkadang setali dengan rasa kopi tanpa gula, pahit! Tetapi pahitnya jelas tanpa sensasi seperti pahitnya kopi yang sering kita nikmati. Seorang kawan bahkan pernah blusukan dan menuliskan hasil risetnya tentang kopi-kopi yang dihasilkan petani-petani kecil di Lampung yang rata-rata bermutu rendah. Oleh karenanya, kopi-kopi petani itu pun juga dihargai rendah oleh para tengkulak dan pabrik pengolah kopi. Petani tak kuasa menentukan dan menciptakan grade tertentu akibat berbagai keterbatasannya. Sementara pabrik pengolah kopi itu hanya mau tahu kopi yang dibeli dari petani harus bermutu sesuai keinginannya.

Disaat lain, dalam penentuan mutu kopi, pembeli seringkali curang dengan hanya mengandalkan kepekaan tangan mereka meskipun memiliki alat pengukur kadar air yang lebih canggih. Mereka hanya mengandalkan tangan jika menghadapi petani sehingga bisa mengakali kadar air sesungguhnya, tentunya untuk menekan harga ditingkat petani dan mencari keuntungan yang lebih besar, karena harga yang diterima petani dari pedagang tak lebih dari setengah harga di pasar. Ini tentu membuat petani sangat menderita.

Dari secangkir kopi, juga memunculkan bagaimana pertarungan ekonomi kopi terjadi. Tak sekadar antara petani dan pengusaha atau tengkulak-tengkulak, tetapi juga merembet ke warung kopi yang dianggap tradisional berhadapan dengan cafe-cafe yang lebih modern dan bahkan berbentuk corporate multinasional. Mereka, para pengusaha besar memunculkan persaingan ketat antar pengusaha kopi (instan) dengan cara perang iklan di media. Hasilnya, saya yakin mereka sebagian besar mereguk keuntungan yang besar, sementara petani-petani kopi skala kecil banyak yang terinjak oleh pertarungan mereka.

Begitulah, menikmati secangkir  kopi memang bisa mendapatkan sensasi dan bahkan pengalaman batin tersendiri. Lalu, apa yang anda rasakan ketika menikmati secangkir kopi?

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Membaca tulisan panjenengan ini serasa menikmati aroma kopi yang menyeruak, hangat, dan menghingkan pikiran !!

    Saatnya sumua sadar.. pedagang kopi juga manusia.

    Salam hangat dari bumi reog :)

    BalasHapus
  2. Teringat di musim hjan sambil ngopi sama keluarga. . . . . . . . . . . Mantabbbbbbb

    BalasHapus
  3. Secangkir kopi jg mengandung diabetes kak, g takut ya? Hehe

    BalasHapus
  4. Wah, saya jadi berfikir betapa petani (termasuk petani kopi) itu adalah pejuang sebenarnya yang dibayar dengan nilai tak tentu, sedangkan hasil kerja keras mereka harus mampu menghidupi seluruh lapisan masyarakat di sebuah negara. Mereka itu nerimo ing pandum. Bagaimana jadinya kalau generasi petani hilang?

    (Kalau tulisan kali ini agak mbulet ya dimaklumi Cak, lha wong belum nyruput kopi... :D)

    BalasHapus
  5. Lebih suka teh dibanding kopi :)
    Tapi kopi itu walaupun pahit, enak juga. Banyak inspirasi yang didapat dr kopi :D

    BalasHapus
  6. Memang betul ya.. dari secangkir kopi sering lahir banyak ide2 dan obrolan2 yang bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata saya sdh pernah komen disini.

      Pada saat minum kopi, jujur saya tak pernah ingat pada nasib para petaninya. Saya hanya sekedar menikmati sensasi berikut kenangan yang menyertainya. Ternyata begitu miris nasib mrk. Sering sekali apa yang kita nikmati, ternyata berlatar belakang kesulitan org lain. Hiks.
      #kopi yg aku sruput pagi ini, lbh terasa pahitnya.

      Hapus
  7. Kopi semerbak wangi bunganya menimbulkan berbagai macam sensasi....

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code