Ad Code

Sepenggal Catatan dari Desa di Kaki Gunung


panen tiba petani desa memetik harapan
bocah-bocah berlari lincah di pematang sawah
padi menguning lambai menjuntai ramai dituai
riuh berlagu lesung bertalu irama merdu

senja datang mereka pulang membawa harapan

MENDENGAR awal syair lagu yang ditulis Iwan Fals itu mungkin kita akan berimajinasi ke suasana alam pedesaan yang damai dan ramai tatkala panen padi tiba. Tergambar terang dan jelas, padi menguning keemasan menghampar sepanjang mata memandang, melambai-lambai diterpa angin seolah mengisyaratkan harapan akan peningkatan kesejahteraan. Ditambah lagi riuhnya lesung bertalu berirama merdu yang mengiringi roda perekonomian desa yang masih semarak berputar. Anak-anak desa pun tak ketinggalan ikut berpesta dengan berlari-lari lincah di pematang menikmati keriangan orang tuanya, menuai harapan.

Ah, kami cuma sedikit mengalami peristiwa seperti ini. Maklum saja, desa kami bukan penghasil padi yang utama. Desa kami yang berada di lereng gunung, sekitar 30 Km tenggara kota Jombang, dengan ketinggian kawasan huni sekitar 500-1200 meter dari permukaan laut lebih didominasi oleh tanaman perkebunan, semacam cengkih, kopi, kakao dan buah-buahan. Sawah memang ada, namun keberadaannya hanya beberapa persen saja. Sawah dicetak pada kawasan lembah yang teraliri air sepanjang tahun. Kondisi berbagai tanaman, termasuk padi, memang bisa tumbuh subur, namun untuk tanaman padi, rendemen beras dari gabah yang dihasilkan tak sebaik jika padi ditanam di kawasan ngarai atau dataran rendah yang rendemennya bisa mencapai 65 persen. Itu makanya masyarakat di desa kami lebih tertarik menanam kopi (sejak jaman Belanda), cengkeh, kakao, dan tanamam buah-buahan.

Namun sayangnya, aktivitas pertanian di desa kami saat ini mulai loyo dan kurang bergairah. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya para pemuda yang hijrah ke kota-kota dan tak kembalinya para pemuda yang telah memperoleh pendidikan tinggi. Akibatnya, aktivitas pertanian di desa didominasi kaum tua yang seringkali “kurang darah”. Bukan salah mereka, para pemuda, yang tak mau bertani, tetapi karena keadaanlah yang memaksa mereka, kawan-kawan saya itu, hijrah ke kota. Sementara lahan-lahan di desa yang sebagian besar berupa perkebunan banyak di miliki oleh orang-orang kota. Mirip yang di gambarkan Franky and Jane dalam lagunya:

“…… desa dimiliki oleh orang kota
kota dimiliki oleh orang desa
petani mencari kerja di kota
orang kota mencari kekayaan di desa
apalagi yang tersisa bagi kau dan aku…..”

Saya sendiri baru beberapa bulan memutuskan kembali ke desa setelah cukup lama hidup nomaden. Ya, sejak selepas SMP tahun 1993 saya “mulai belajar” meninggalkan desa menuju ibukota kabupaten untuk belajar "mencangkul". Maklum, pada tahun itu di desa ataupun di kecamatan saya belum ada tempat  belajar "mencangkul" yang memadai. Hijrahlah ratusan anak-anak dari tempat kami menuju kota kabupaten, hidup sebagai anak kost atau sebagian tinggal di pondok pesantren. Namun, hampir setiap pekan kami pulang kampung menjenguk orang tua sekaligus meminta “jatah” biaya hidup. Selepas itu, setelah lulus, saya dan teman-temanpun semburat kemana-kemana. Ada yang langsung bekerja, dan tak sedikit yang melanjutkan kuliah. Saya sendiri sempat terdampar di ibu kota provinsi, nguli sebelum akhirnya terdampar di kota hujan, Bogor, hingga tahun 2005. Dan sebelum memutuskan kembali ke desa, terpaksa saya juga menjadi perantau (lagi) yang hidup nomaden di beberapa kota dan pulau di luar Jawa. Apa boleh buat, ini juga karena keadaan, karena “kolonialisasi” Badan Penyanggah dan Pembelian Cengkeh (BPPC) kala itu yang mengobrak-abrik tatanan perekonomian petani desa kami. Karena tanah juga sejengkal. Namun begitu, di rantau saya tetap merindukan desa, tempat tumpah darah pertama saya, tempat menimba ilmu-ilmu sosial sesungguhnya. Kala merantaupun saya tak lebih dari 3 bulan saya pastikan untuk menjenguk kampung halaman, meskipun hanya beberapa malam. Entah, mengapa saya begitu rindunya pada kampung halaman jika 3 atau 4 bulan tak pulang!

Bisa jadi karena desa terlalu dalam mengukir segala kenangan hingga sulit terhapus. Salah satu kenangan paling melekat adalah ketika melihat dan menikmati tradisi panen padi atau methik. Ketika itu nenek masih mempunyai sawah yang tak lebih dari setengah hektar. Setiap kali menjelang panen padi, nenek selalu memulai dengan ritual selamatan seperti ini. Malam menjelang panen biasanya dilakukan kenduri atau tumpengan di rumah dengan mengundang tetangga kanan-kiri. Yang saya pahami, hal ini dilakukan sebagai bentuk ugkapan rasa syukur dengan sedekah nasi tumpeng atas panen di setiap musim panen. Selain tumpeng yang dikendurikan di rumah, juga disiapkan tumpeng yang khusus untuk kenduri di sawah keesokan harinya. Tumpeng ini dibuat khusus dengan bagian puncak ditancapi dengan berbagai macam hiasan dan uba rampe seperti cabai, bawang merah, sirih, gula merah, ikan asin, merang, daun kelapa atau daun aren, dan sepotong bambu yang masih muda. Tumpeng ini dijaga semalam suntuk sebelum keesokannya dibawa ke sawah.

Keesokan harinya dilanjutkan dengan upacara methik di lokasi atau sawah yang akan dilakukan pemanenan. Upacara methik ini dipimpin oleh “orang pintar” atau tokoh spiritual desa dengan membawa sesajen dengan segala macam uba rampe-nya itu ke lokasi persawahan yang akan dipanen. Yang saya ingat, dulu Pak Tua yang memimpin upacara itu selalu membakar merang dan dupa atau kemenyan. Saya selalu merinding bila mencium aroma khas dupa atau kemenyan itu.

Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa dan selanjutnya dilakukan pemetikan beberapa tangkai padi dengan ani-ani. Tangkai padi inilah yang melambangkan Sang Dewi Sri atau Dewi Padi yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Lalu beberapa helai tangkai padi ini dijadikan seperti pengantin atau disandingkan dalam sesajen (makanya sesajen kadang juga disebut sandingan). Padi sandingan ditutup dengan bernacam bunga dan diolesi dengan boreh (semacam krim atau bedak basah). Kemudian sesajen yang sudah “bersanding” dengan Sang Dewi Padi, dibawa pulang ke rumah dengan cara disunggi (ditaruh di atas kepala) atau kadang digendong untuk disimpan di bilik atau senthong. Pembawa sandingan ini harus diam atau tak bicara apapun sampai di rumah.

Begitulah, ritual yang kadang sulit kita pahami di jaman sekarang, masih melekat pada masyarakat desa saya. Selain memunculkan kenangan, desa juga memberi spirit pada kami untuk memandirikan pangan sekaligus menganekaragamkan pangan dengan memanfaatkan sumber-sumber pangan lokal. Di tengah-tengah orang-orang “dekat istana” berkoar-koar untuk mengurangi konsumsi nasi (beras) dan menganekaragamkan pangan, kami orang-orang desa sudah sejak dulu ‘mengamalkannya”. Wajarlah, disamping karena sebagian dari kami tak mampu membeli beras, kami juga tak mau mengingkari karunia Tuhan sekaligus kami tak mau memenjarakan diri dalam pusaran “kolonialisasi” pangan yang menjadi-jadi seperti saat ini.

Saya sendiri sejak kecil telah diajarkan dan dikenalkan oleh para tetua dengan makanan-makanan khas desa. Sebut saja makanan yang mungkin saat ini terasa asing bagian sebagian besar kita, ada Nagasari (rice-flour cake stuffed with banana bits and steamed in banana leaves), Getuk (sweet steamed loaf of pounded cassava), Mendut (cake made of sticky rice with grated coconut and brown sugar wrapped in banana leaves), Lemper (snack made of steamed glutinous rice with meat or other stuffing and wrapped in a bananas leaf), Wajik (cake made of sticky rice and palm sugar, cut in rhomboid shapes), Gatot (sliced dried cassava boiled with coconut milk), Tiwul (snack made from dried cassava), Jemblem (confection of fried cassava), Kucur (fried cake of rice flour), Onde-onde (round fried cake made of rice flour filled with sweetened ground mung beans sprinkled with sesame seeds). Dan semua bahan untuk makanan itu tumbuh subur dan berlimpah di desa saya.

Desa juga menjadi sumber inspirasi saya, inspirasi sikap hidup dalam kesederhanaan dan kebersahajaan, termasuk juga inspirasi dalam menulis. Setidaknya ada belasan tulisan saya yang pernah nangkring di kompas dan media cetak lainnya dengan fokus dan lokus desa. Tak ada maksud lain dalam menuliskan tentang desa sendiri, kecuali sebagai salah satu cara “berkhidmat” pada desa, cara menumpahkan kerinduan pada desa, sekaligus (mungkin) cara untuk “mengglobalkan” nilai-nilai lokal desa. Siapa lagi yang berkhidmat pada desa, siapa lagi yang merindu desa, jika bukan para penghuninya sendiri. Bukan begitu?

Tulisan terkait:
Jejak Wallace di Jombang
Durian Wonosalam, Mengapa Lebih Mahal?
Fantastik, Harga Cengkeh di Jombang Menembus Rp 130.000 per Kg!
Menyapu Sampah, Mendulang Rupiah!
Wow, Harga Sampah Daun Cengkeh Naik 300%!

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Sebagai anak desa saya juga merasakan hal serupa mas. Kini para pemuda/pemudi banyak yang memilih bekerja di kota karena lebih memetik hasilnya. Jika bersawah mungkin harus menunggu panen tiba baru bisa beli celana he he he he.

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. Sebagai sesama warga jombang, saya juga mengamati apa yang mas jun ceritakan itu memang benar adanya

    tapi saya kemarin waktu hari raya ada cerita ketika mbah saya punya lahan banyak, sehingga hampir semua sawahnya dibagi ke anak anaknya dan menitip pesan "meskipun kalian udah bekerja, jangan jual dan jadikan lahan ini sebagai rumah, tetaplah jadi petani meskipun bukan kalian yang mengerjakan sendiri (diparo)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bersyukur mas, punya mbah dg lahan banyak dan bijak memandang dunia pertanian.

      Hapus
  3. Jadi ingat sawah bapakku dulu, 1,5 Ha yg dijual untuk modal usaha, dan usaha yg dirintis sampai saat ini belum berhasil..
    dan di hari tuanya, bapak tak bisa menggarap sawah yang pernah dibelinya waktu muda

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code