Ad Code

Berani Mengoreksi Diri?


SAAT
ini kondisi bangsa Indonesia berada pada titik nadir, terpuruk dalam berbagai segi kehidupan. Secara ekonomi kita lemah, hutang terus menumpuk dan menjadi beban warisan generasi nanti. Kemiskinan, busung lapar dan gizi buruk menjadi bagian tak terpisahkan. Kehidupan sosial pun semakin liar dan tak terkendali. Rasa aman menjadi sesuatu yang mahal. Pembunuhan terjadi hanya karena beberapa rupiah saja, dan berbagai tindak kejahatan menjadi tontonan setiap hari.

Bukan hanya tidak aman dari sesama, rakyat juga tidak aman dari penguasa. Hubungan rakyat dan penguasa seperti kucing dan tikus. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan, PKL digusur dengan alasan ketertiban, pengusaha tidak aman karena menghadapi banyaknya pungli dan kesulitan birokrasi. Kondisi ini diperparah dengan maraknya korupsi di semua sendi kehidupan serta impotennya sistem hukum dan peradilan.

Tak ada kata lain selain perlu perbaikan total dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Persoalannya, dari mana kita memulai perbaikan ini? Dan bagaimana solusinya? Mengikuti manejemen qolbunya KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) kita bisa memulai dari diri sendiri. Solusi utamanya adalah berani mengoreksi diri.

Bagaimanapun koreksi diri adalah tindakan yang sulit dilakukan bila kita tak memiliki sikap jujur dan rendah hati. Berkaitan dengan itu ungkapan pepatah “katakanlah yang benar walau pahit rasanya” sebenarnya belum terlalu sulit jika dibandingkan dengan melakukan koreksi diri. Karena biasanya orang akan lebih mudah melakukan kritik dan menilai kesalahan orang lain daripada mengoreksi dirinya.

Namun demikian, inilah hakikat akhlak mulia kehidupan kita. Kalau seseorang tidak mampu melakukan koreksi dan kritik diri, yang di dalamnya dibutuhkan ketulusan dan kejujuran, yang akan terjadi adalah munculnya sikap sombong, selalu merasa dirinya benar, atau bahkan menganggap dirinya paling benar. Sikap semacam ini mirip dengan ungkapan melayu “kuman di seberang lautan jelas terlihat, gajah di pelupuk mata tak terlihat”.

Dalam ajaran suci disebutkan bahwa orang yang bersikap durhaka atau fasiq adalah orang yang tidak mau menerima kebenaran dan menutup hatinya sehingga hatinya gelap gulita. Dengan demikian orang fasiq dapat dikatakan sebagai orang yang tidak mau mengikuti kebenaran, termasuk yang datang dari dalam dirinya. Hati orang fasiq gelap gulita sehingga ia tidak mampu lagi membedakan yang benar dan salah. Hati yang tertutup adalah hati yang gelap, hati yang tak bernurani (bercahaya).

Fenomena yang demikian sepertinya ada dalam kehidupan bermasyarakat kita. Negeri kita yang kaya raya ternyata tak banyak memberikan manfaat akibat perilaku korup kita dan abai soal moral dan akhlak. Lebih jauh lagi, berbagai peristiwa kemanusiaan dan krisis mulitidimensi yang tak kunjung usai ini tak terlepas dari perilaku kita selama ini. Perilaku pembangkangan moral semacam KKN seolah tak terlepas dari kehidupan kita, baik yang dilakukan pemimpin atau oleh rakyatnya.

Sejarawan Gibbon mencontohkan kerajaan Romawi yang berbentuk imperium yang sangat besar dan ditakuti bangsa-bangsa lain pada zamannya hancur binasa karena dipimpin oleh orang-orang fasiq, orang yang tidak lagi mau mempedulikan aturan, yang para pejabatnya tidak memiliki moral dan akhlak lagi. Anehnya, kita mempunyai banyak peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat.

Memang dalam era keterbukaan saat ini fungsi masyarakat dalam membangun tatanan masyarakat terbuka semakin jelas. Sebagai konsekuensi logis dari realita tersebut, lahir tuntutan masyarakat adanya hukum dan peraturan perundangan yang mendukung terbentuknya masyarakat terbuka. Bahkan tidak jarang, masyarakat sendiri yang berinisiatif mendorong munculnya peraturan perundangan itu.

Dorongan masyarakat yang sangat besar dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, membuat pengambilan keputusan untuk public policy sangat lambat, termasuk dalam pembuatan peraturan perundangan. Hal itu karena banyaknya orang yang menyampaikan keinginan dan kepentingannya.

Namun setelah peraturan dibuat, masih banyak yang mengabaikannya. Peraturan tinggal peraturan, hanya dibuat tapi tak pernah diperbuat atau dilakukan dalam kehidupan. Sehingga wajar saja kalau masih ditemui banyak tindakan-tindakan culas dan kesewenang-wenangan di antara kita. Masih banyak tipu muslihat dan dusta di antara kita.

Parahnya lagi, krisis mentaati peraturan juga terjadi di antara pemimpin-pemimpin kita. Ini menunjukkan bahwa mereka telah gagal mendidik dirinya, sehingga mustahil berhasil mendidik rakyatnya untuk membebaskan diri dari belenggu budaya korup, yang sudah tertanam kuat sejak zaman penjajahan. Sebab itu, jika para pemimpin kita saat ini masih memiliki rasa manusianya, selayaknya harus berani mengoreksi perilakunya sendiri sebelum mendidik rakyatnya.

Kalau kita menghubungkan antara azab Tuhan dengan perilaku kita, mungkin sudah tak ada alasan lagi bagi Tuhan untuk menurunkan azab-Nya jika melihat perilaku kita saat ini. Betapa banyak kemungkaran-kemungkaran yang kita lakukan dalam hidup ini.

Oleh karena itu, untuk kembali ke kehidupan yang harmoni, tak ada cara lain selain berani memahami dan mengoreksi diri sendiri segala tindak-tanduk kita. Dan pada bulan syawal pasca idul fitri kali ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan itu semua. Kita telah sebulan penuh digembleng dalam kawah candradimuka bulan ramadhan. Dengan demikian kita akan segera dapat keluar dari krisis ini dan menyongsong kehidupan baru yang lebih baik. Semoga!

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Jadi sedih bacanya.
    Hidup Rekeblik Endonesah...!!!!!!

    BalasHapus
  2. dunia tak seindah yang dibayangkan...

    btw salam kenal... akhirnya ketemu juga blogger dari jombang...

    BalasHapus
  3. Ayo kita berbuat yg terbaik sesuai dengan kemampuan kita untuk negeri titipan-Nya

    BalasHapus
  4. fenomena yang cukup tragis, emang.lemahnya perekonomian bisa berdampak pada meningkatnya presentasi tindak kriminal. tinggal bagaimana kita manusianya sajalah...

    BalasHapus
  5. terus berefleksi dan mengoreksi sekaligus berkontemplasi....

    salam

    BalasHapus
  6. dan ini bermula dari perang pemikiran...

    BalasHapus
  7. indonesia....tanah airku....tanah tumpah darahku...

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code