Ad Code

Catatan Hujan Bulan November


ADALAH
Profesor Penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang banyak sekali menulis sajak yang menceritakan tentang hujan. Setidaknya dalam salah satu antologi puisinya ‘Hujan Bulan Juni’ yang nangkring di lemari buku saya, ada sekitar 11 judul sajaknya yang langsung bercerita tentang hujan, di antaranya:

Hujan Turun Sepanjang Jalan
Hujan dalam Komposisi, 1
Hujan dalam Komposisi, 2
Hujan dalam Komposisi, 3
Di Beranda Waktu Hujan
Percakapan Malam Hujan
Kuhentikan Hujan
Sihir Hujan
Hujan Bulan Juni
Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang
Hujan, Jalak dan Daun Jambu

Hari ini pun, di bulan November ini, saya juga ingin sekali mencatat tentang hujan dimana hujan deras pertama kali mengguyur kampung halaman. Sebenarnya kurang tepat kalau ini dikatakan hujan yang pertama, karena setiap bulan rata-rata kampung ini menerima guyuran hujan, tak peduli itu musim kemarau. Bahkan, sejak awal bulan Oktober lalu sampai minggu pertama bulan November, hujan deras turun hampir tiap hari. Saya mengira ini sudah memasuki musim penghujan. Tetapi, ternyata ini sudah hampir tiga minggu tidak turun hujan, bahkan cuaca panas sangat menyengat hingga akhir November ini. Banyak petani yang kecele karena mereka awalnya juga menyangka telah memasuki musim tanam seiring dengan hujan turun terus-menerus hampir tiga minggu dibulan Oktober lalu. Ketika itu, mereka langsung mulai turun ke ladang dan menebar benih. Namun, akibat panas menyengat hampir tiga minggu, banyak tanamannya yang masih kecil-kecil mati tak cukup mendapatkan air. Memang bagi petani zaman sekarang tidak mudah beradaptasi dengan alam, seperti yang pernah saya tulis di Kompas beberapa waktu lalu.

Dan saat ini hujan kembali turun sangat deras dengan titik-titik air yang besar dan temponya cukup lama. Mudah-mudahan ini pertanda awal dari musim penghujan beneran, yang sudah pasti akan diikuti hujan-hujan berikutnya, bahkan mungkin tiap hari dengan tingkat kederasan yang berbeda-beda. Kondisi seperti inilah yang sangat dinanti-nanti oleh orang-orang di kampung halaman yang sebagian besar berprofesi menjadi petani. Mereka telah sekian lama berharap-harap cemas menanti turunnya hujan. Dan hujan kali ini benar-benar telah memupus keputusasaan mereka, menghapus haus dahaganya, seperti yang terkabar dalam kitab suci:

Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa (Ar-Ruum 49).

Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji (Asy Syuraa 28).

Hujan yang turun disamping membawa kabar gembira kadangkala juga membawa kabar malapetaka. Petani-petani di kampung saya jelas bergembira menyambut datangnya hujan, tetapi bagi saudara-saudara kita yang lain mungkin hujan menjadi malapetaka, sebab hujan selalu menjadi salah satu pemicu datangnya banjir dan tanah longsor.

Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira (Ar Ruum 48).

Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (Al Furqaan 48).

Dengan turunnya hujan kali ini, deposit air di daratan semakin bertambah dan tentu saja kita yang diuntungkan. Apalagi air yang turun dari langit adalah air yang sangat bersih karena proses penyulingan-Nya yang Maha Sempurna. Air hujan hanya bisa tercemar jika di udara terjadi pencemaran akibat asap, debu dan zat lainnya yang seringkali diakibatkan oleh ulah manusia.

Air bagi kehidupan di dunia adalah salah satu komponen yang sangat penting. Makan, minum dan aktivitas lainnya hampir-hampir tak terpisahkan dengan air. Jadi air adalah zat mutlak yang diperlukan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Bukankah tubuh manusia didominasi oleh air?

Karena begitu pentingnya air, kata Sunyoto (2007), orang-orang di belahan dunia mempunyai banyak sebutan tentang air. Di Eropa air disebut fons vita atau air kehidupan, orang Yunani menyebut air sebagai nectar atau minuman dewa. Orang Inggris menyebut the elixir of life dan orang Jerman menyebut lebens elixier yang artinya sesuatu yang mutlak diperlukan untuk kehidupan. Sedangkan orang Prancis menyebut air dengan la source de vie, dan orang Belanda menyebut air sebagai levens water. Demikian pula dengan orang Arab mempunyai sebutan maul khayat atau sumber kehidupan.

Lebih lanjut, dia juga menyebutkan bahwa suku-suku bangsa di Indonesia pun mempunyai sebutan yang berbeda-beda terhadap air. Orang Madura menamakan somber odik atau sumber kehidupan. Orang Bugis menyebutnya de’gaga wae taue mate yang maksudnya tiada air semuanya akan mati. Dan dalam bahasa Sansekerta, yang kemudian banyak diadopsi dalam bahasa Jawa, lebih banyak lagi sebutannya tentang air, di antaranya tirta nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani, banyu bening pawita sari, banyu panghuripan dan sebagainya.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita selalu bersyukur dengan turunnya hujan membasahi bumi ini. Hujan disamping mampu menambah deposit air daratan sekaligus membilas segala debu dan kotoran di muka bumi, juga mampu meredam gejolak jiwa kita, mencairkan rasa rindu pada hujan yang telah lama membeku. Bukankah kita selalu rindu hujan dan berharap-harap cemas ketika hujan akan datang?

Hujan saat ini juga mengingatkan saya pada masa kecil. Di bawah serbuan jutaan titik air yang jatuh, saya berlari-lari menerjangnya, di halaman rumah, juga di jalan-jalan. Berhujan-hujanan ramai-ramai bersama kawan-kawan sebaya. Berkejar-kejaran, lempar-lemparan lumpur, kadang juga lumpur yang diisikan batu kerikil, biar keras mengenai kepala “lawan”. Semuanya sambil tertawa-tawa saja, tanpa ada dendam yang terpendam. Memang hanya tawa yang kami punya untuk menyambut hujan, biarpun kepala terkadang benjol terkena lemparan lumpur berisi batu atau lebih seramnya batu berlapis lumpur.

Sehabis hujan, di halaman rumah saya seringkali asyik menggambar sepeda dengan roda bulat yang saya gambar dengan tungkai dan jempol kaki yang menjadi jangka. Gambar rodanya benar-benar simetris dan bulat sekali. Masih dengan jempol kaki kulengkapi “sepeda” dengan stir, pedal, jeruji dan tempat duduk juga jalanan yang berkelok-kelok. Halaman rumah yang basah itu sukses saya buat becek dan tak karu-karuan.

Kembali ke hujan kali ini, hujan pertama yang benar-benar mencipta suasana yang khas. Setelah sekian lama tanah dan pepohonan kering kerontang terpanggang matahari dan mungkin teramat merindukan hujan, menjadi lebih segar. Kata Profesor Sapardi di dalam salah satu sajaknya: dirahasiakannya rintik rindunya, kepada pohon berbunga itu.

Sehabis hujan udara mendadak sejuk dengan semilir bayu menghembus sayu. Daun-daun basah merunduk sehabis dihujam hujan yang tercurah dari langit, seolah bersujud syukur kepada Tuhan Sang Pemilik Hujan. Tanaman bersyukur karena dengan hujan mata daun atau stomata dedaunannya akan terbuka karena debu-debu dan partikel-partikel lainnya yang menempel menutupinya selama kemarau akan segera rontok dengan guyuran air hujan, dan itu pasti membuat nafasnya lebih leluasa serta proses fotosintesis akan berjalan optimal.

Seperti pohon-pohon cengkeh di samping rumah ini, selalu mengikuti hukum alam, bertasbih sepanjang masanya. Ketika hujan turun dan angin meniupnya, maka daun-daun keringnya banyak yang berguguran, dan sebentar kemudian akan menghijau dengan memunculkan tunas-tunas barunya, tunas-tunas yang lebih segar tentunya.

Demikian juga halnya katak, sehabis hujan deras mengguyur bumi, katak bernyanyi dan menari di hamparan sawah dan ladang (ini imajinasi masa kecil saya setelah membaca buku-buku cerita), menyeruak mengumandangkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Suaranya menggema memenuhi ruang-ruang dan gendang telinga kita, hingga kita terkadang merasa terganggu. Begitulah katak menyambut dan merayakan datangnya hujan, dengan tatacaranya sendiri.

Mereka tak pernah melakukan pengingkaran, dan bahkan mungkin dalam benaknya pun tak pernah terbersit niat untuk mengkhianati dan mengingkarinya. Tidak seperti kita, manusia yang mudah meminta namun juga mudah mengingkarinya. Benak dan otak kita sepertinya selalu penuh dengan rencana-rencana pengingkaran dan kadang juga niat untuk memurtadkan diri.

Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat) (Qs. Al Furqaan 50).
 
Begitulah, kita seringkali bertasbih dengan komat-kamit di mulut, bahkan dengan suara yang mengalahkan suara katak, sampai berderai air mata tetapi seringkali tak meresap ke dalam lubuk hati. Tuhan, tetapkanlah rasa rindu ini pada hujan-Mu, dan tetapkanlah jiwaku selalu bertasbih pada-Mu!

Jombang, November 2007

Posting Komentar

4 Komentar

  1. abah-simakku adalah petani. maka, setiap aku telp mereka, aku selalu bertanya: "rumah sudah hujan belum?" lalu, simak akan menjawab, "semalam sudah hujan. deras sekali." dan, aku akan bernapas lega, krn itu berarti esok atau lusa abah bisa mulai mencangkul kembali tanah sawah yang sudah beberapa bulan ini kering karena kemarau...

    BalasHapus
  2. hujan selalu mengingatkanku pada anak-anak yang menawarkan jasa ojek payung...

    salam kenal :)
    isnuansayangpengenpresidenperempuan

    BalasHapus
  3. ketika byk org berteduh sewaktu hujan datang, saya justru keluar, hujan-hujanan di belakang rumah. dan mereka bilang saya gila ^_^

    BalasHapus
  4. Bukan hanya romantisme hujan yang tersaji dalam tulisan ini, tetapi juga realitas hujan dan renungan.. mas Jun seperti biasa, selalu luar biasa..:)

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code