Ad Code

Memoar Asmara di Asrama

SEBUAH kenangan kembali melintas di memori ini, memaksa jemariku menari-nari di atas keyboard komputer butut ini.

Jombang tiga tahun yang lalu, langit sore baru saja menelan bulat-bulat matahari. Kala itu, dengan setengah hati, juga langkah yang setengah-setengah, aku meninggalkan asramaku menuju masjid induk untuk mengikuti kegiatan rutin pondok, kajian tafsir kitab-kitab klasik —kitab kuning kebanyakan teman-temanku menyebutnya. Aku tak tahu persis kenapa disebut demikian, sudah turun-temurun menyebutnya begitu—. Mungkin warna kitab-kitabnya pada kekuning-kuningan karena sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Bisa jadi, akupun sering menyebutnya begitu. Kitab-kitab seperti ini yang katanya paling banyak digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia khususnya di Jawa.

Sebenarnya aku sudah tidak begitu tertarik lagi untuk mengikuti pengajian kali ini. Pikiranku lagi ruwet, krodit tak karuan beberapa hari ini. Kalau tidak dipaksa Al Hamdhi, orang Madura teman sekamarku itu dan juga adanya “patroli” rutin ke kamar-kamar oleh keamanan pondok mungkin aku tak akan berangkat, jumpritan atau ngumpet saja aku dalam almari atau sembunyi dalam kamar mandi ketika datang keamanan pondok. Tak jelas apa penyebab pikiranku tak karuan ini.

Sejak pertemuanku dengan putri Pak Kiai, guru ngajiku sendiri, di kampus itu hampir 3 tahun yang lalu, sepertinya aku telah berubah. Begitu juga penilaian teman-temanku. Itu aku sadari, sadar sesadar-sadarnya. Selama hampir 3 tahun itu aku seringkali harus bertemu dengannya, di ruang kuliah, di perppustakaan, bahkan di forum studi bersama pun, kami selalu bertemu. Yang baru kusadari akhir-akhir ini, mengapa selalu terlintas dia di benakku di manapun aku berada. Apalagi ketika aku menjelang tidur, seolah dia berlari dan menari di kelopak mataku. Sungguh sangat menyiksa, tetapi aku menikmatinya.

Aku tak tahu rasa apa yang mengganjal hatiku. Kata teman-temanku, jatuh cinta yang sedang kurasakan. Tapi benarkah? Mungkin seperti salah satu lirik lagu Dewa, cinta datang karena terbiasa. Pokonya bimbang, bingung, berbunga-bunga, rindu, dendam menjadi satu. Mengaduk-aduk tak karuan. Tapi setelah pertemuanku itu perasaanku semakin terbolak-balik, teraduk-aduk, tercabik-cabik. Ya, tercabik-cabik, sampai-sampai tengkukku pun ikut bergidik.

Antara cinta dan benci membolak-balikan hatiku. Tapi memang di antara kami ada tirai pemisah, bahkan bukan tirai lagi, kalau tirai itu tipis, tapi ini semacam tembok besar, sebesar Tembok Besar Cina yang menghalangiku! Kata kawanku yang lain, aku sedang jatuh cinta, tapi keterlaluan jatuh cintanya, masa jatuh cinta sama putri Pak Kiai, pemilik sekaligus pendiri pesantren ini. Bukan levelnya!

Kupikir-pikir yang edan temanku atau aku ya? Masa jatuh cinta dianggap keterlaluan. Apa salahnya memberi cinta pada putri Pak Kiai?

“Cinta itu berasal dari kata al mahabbah dan benci dari kata al karahah, keduanya merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah pada seluruh manusia” demikian kata Ustadz Al Faruk, sebut saja begitu, ustadz muda yang masternya jebolan Timur Tengah ini memulai kajiannya

“Bagi seorang muslim, cinta dan benci itu harus dikelola secara proporsional. Karena, bisa jadi apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat kita” kata Ustadz Al Faruk mengutip ayat–ayat Al Quran.

“Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban cinta dan kebencian akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini” Imbuh ustadz muda ini seolah-olah menyindirku.

Ya, jiwaku saat ini memang sedang terguncang, karena seperti kata ustadz tadi, mungkin aku ini salah satu korban dari kata-kata yang beliau sebut tadi. Aku sepertinya sedikit lebih antusias mengikuti kajian ini.

Lanjut Ustadz Al Faruk “Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan dan ketaatan. Kalian harus ingat firman Allah bahwa Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Coba buka Al Quran Surat ke-3 ayat 31”.

Wah, ustadz ini hapal benar dengan isi Al Quran, gumamku. Tapi wajar saja, Dia sebelum dikirim ke luar negeri telah menguasai Al Quran plus hapal 30 juzz! Kata teman-teman, ia sejak tsanawiyah memang telah tinggal di pesantren ini, pesantren yang terkenal melahirkan santri-santri penghafal Al Quran.

“Buka juga surat ke 5 ayat 8. Disitu disebutkan bahwa salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka.”

“Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Islam itu rahmatanlilalamin. Seperti dalam hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW. bersabda, bahwa hakikat seorang muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri”.

“Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan”.

“Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasud adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu”.

“Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW. Kalian masih ingat sabda Beliau kan? Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar. Hadist ini diriwayatkan oleh siapa?”

“Abu Daud, Tadz!” jawab temanku di belakang.

“Benar sekali” timpal Ustadz Al Faruk. “Wajah seorang pelaku hasud tak lain adalah seorang provokator yang senang mengadudomba antarsesama, menabur kedengkian dan fitnah, serta wujud dari kerjasama dalam menebar dosa dan permusuhan. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari-Muslim, mereka diancam Nabi SAW. bahwa mereka tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia”.

“Dalam konteks Islam, merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antar insan. Inilah inti rahmatan lil-alamin, mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan”.

“Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Tirmidzi menyebutkan "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah Tahajud pada sepertiga malam, niscaya kamu akan masuk surga dengan damai"”

“Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan dari, oleh dan untuk siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila orang lain selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya” Pesan Ustadz Al Faruk mengakhiri penjelasannya.

Aku manggut-manggut saja mendengarnya. Aku jadi ingat seorang tokoh sufi bernama Bayazid Bustami yang mengatakan bahwa cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun itu sedikit.

Ah, benar juga! Itu mungkin jadi penyebab Rasulullah SAW. berani menolak permintaan para dedengkot kafir Quraisy untuk menghentikan dakwahnya. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah SWT, Muhammad SAW. mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”.

Kini baru aku sadar, betapa rasa cinta yang selama ini memenjarakanku ternyata memang hanya belenggu yang harus aku lepaskan. Aku lelah dan salah mencari cintaMu. Padahal cintaMu adalah cahaya yang selalu ada dan menyinari, aku salah, kenapa aku tak mulai membuka pintu rasa atau setidak-tidaknya berusaha agar Kau mencintaiku, atau aku memulai dengan mencintaiMu. Kemudian menghanyutkan diri dalam arusMu, berputar dalam mihwarMu, sungguh aku manusia bodoh, penuh dengan ketidaktahuan. Cintaku kemarin memang terlalu membumbung ke langit, yang setiap saat siap jatuh dan mengoyak-ngoyak wajahku sendiri. Kuanggap dunia ini tak tampak, kuanggap sepi semua yang muncul di benakku.

Cintaku kemarin telah mati di atas bebatuan terjal, ketika air jatuh dari puncak bebatuan dan ambyar airnya di atas bongkahan batu-batu karang yang tajam, ketika hubb dan 'ikha melebur dalam merah darah. Dan aku pun enggan menumbuhkan lagi meskipun yang tersisa hanya cinta berpamrih, pamrihnya lebih indah dari wajah sejuta bidadari.

Aku belum proporsional menempatkan cintaku, juga benciku. Cinta sejati sesungguhnya hanya untukMu. Biarlah segala rasa cinta ini tetap ada, tapi aku tak mau terbelenggu olehnya. Termasuk juga belenggu senyuman putri Pak Kiai yang selalu mencambuki hatiku hari-hari terakhir ini. Tak proporsional rasanya mencintai dia melebihi cintaku padaMu. Mudah-mudahan saja cepat lepas belenggu itu bersama angin malam ini.

Aku keluar masjid sehabis sholat Isyak yang dilakukan ba’da pengajian. Semangatku kembali berkobar, kini di kamar tanpa dipan, tanpa kasur, tanpa guling, cuma bantal keras sedikit kumal dan hamparan karpet hijau yang memanjakan tidurku. Meskipun demikian aku tetap bisa menikmati mimpi-mimpiku tanpa belenggu senyuman putri Pak Kiaiku! 



Bogor, Radar 10 House, Juni 2004

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code